Perlu dipahami bahwa Agama Buddha tidak bertujuan untuk membuat kita menyembah Sang Buddha sebagai makhluk surgawi dengan kekuatan-kekuatan supranormal. Agama Buddha lebih bertujuan untuk membuat kita memuliakan Sang Buddha sebagai Buddha sejati (yang benar-benar telah tercerahkan oleh diri-Nya sendiri dan kemudian mengajarkan Dhamma kepada makhluk lain), untuk membuat kita memuliakan Dhamma sejati (yang dibabarkan oleh Sang Buddha), dan memuliakan Sangha sejati (Komunitas orang-orang yang berlatih). Tiga perlindungan ini nyata dan dapat diandalkan.
Sebagian orang mungkin meragukan ajaran Sang Buddha, sehubungan dengan Dhamma yang menyatakan “Diri ini adalah pelindung bagi diri sendiri” dengan pernyataan tiga perlindungan terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha. Ada syair yang mengokohkan tiga perlindungan itu dan menyangkal perlindungan lain. Syair itu berbunyi:
“Tiada perlindungan lain bagiku Sang Buddha-lah sesungguhnya pelindungku yang tertinggi,
"Tiada perlindungan lain bagiku Sang Dhamma-lah sesungguhnya pelindungku yang tertinggi,
"Tiada perlindungan lain bagiku Sang Sangha-lah sesungguhnya pelindungku yang tertinggi.”
Apabila orang mendengar sekilas, tampaknya ketiga hal ini saling berlawanan, tetapi sebenarnya tidaklah demikian.
Marilah kita lihat secara jelas ketiga obyek itu. Walaupun berbeda dalam pengertian materi, namun memiliki esensi yang sama karena ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sang Buddha mewujudkan Dhamma, dan Dhamma ini dilestarikan oleh Sangha, sedangkan Sangha adalah murid-murid Sang Buddha jadi ketiganya saling berhubungan. Ibarat tiga tiang kayu yang saling menyangga. Jika orang berlindung pada salah satunya, otomatis dia bergantung pada ketiganya. Dalam pengertian lain, Sang Buddha adalah perlindungan tertinggi demikian juga Dhamma dan Sangha, sesuai dengan sifat-sifat khususnya masing-masing. Penghafalan kitab suci hanya merupakan ungkapan sederhana tiada perlindungan lain selain Sang Buddha, tiada perlindungan lain selain Dhamma, tiada perlindungan lain selain Sangha.
Di sini, kita sampai pada masalah apakah ini berlawanan dengan ajaran untuk berlindung pada diri sendiri? Sebenarnya, ketiga perlindungan ini disebut “sarana”, sedangkan perlindungan pada diri sendiri disebut “natha”, namun tidak perlu kita menyelidiki asal kata dari Bahasa Palinya. Ajaran-ajaran ini tidak berlawanan, justru sebenarnya sangat sesuai. Seandainya kita membandingkan kehidupan kita dengan suatu perjalanan kita mengambil perlindungan pada Sang Buddha sebagai pemandu, pada Dhamma sebagai jalan, pada Sangha sebagai orang-orang yang terus berjalan untuk menunjukkan jalan, dan pada diri sendiri kita sendiri sebagai musafir. Di sini, “diri” berarti diri kita sendiri, yang merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. Sejak lahir kita sudah harus berlindung pada diri sendiri.
Marilah kita renungkan hal ini sejenak, seorang anak memang tidak dapat bergantung pada dirinya sendiri, ayah atau ibunya harus selalu membantu menopangnya. Tetapi dalam hal yang paling penting anak itu justru harus bergantung pada dirinya sendiri. Orang tua menyediakan makanan dan mereka hanya dapat meletakkan makanan itu di mulut si anak. Lalu anak itu sendirilah yang harus mengunyah dan menelannya, tubuhnya harus menerima dan mencernanya. Dalam mengunyah dan menelan makanan, si anak harus bergantung pada dirinya sendiri. Begitu juga dalam hal belajar, si anak mungkin bergantung pada orang tuanya untuk mencari sekolah dan membayar uang sekolah, tetapi dia sendirilah yang harus belajar. Dia tidak dapat bergantung pada ibunya, ayahnya, atau siapa pun juga, agar belajar dan mencari ilmu baginya, sementara dia duduk santai berpangku tangan. Belajar untuk memperoleh pengetahuan membutuhkan ketergantungan pada diri sendiri, pada sendiri, dan pada kekuatan intelegensinya sendiri. Inilah yang disebut berlindung pada diri sendiri. Tatapi bagaimana orang dapat berlindung pada diri sendiri agar tidak menjadi malas dan tidak gagal? Orang harus berlatih sesuai dengan ajaran dan petunjuk Sang Buddha, yang mengajarkan kepada kita untuk berjuang dengan gigih sampai berhasil. Inilah yang disebut berlindung pada Sang Buddha, Dhamma dan Sangha yaitu, merenungkan ketiganya dan berlatih sesuai dengan itu semua. Ketiganya dapat menjadi perlindungan bagi diri sendiri demikian juga orang dapat berlindung pada diri sendiri.
Barangkali akan timbul pertanyaan pada saat ini, di manakah Sang Buddha bersemayam? Murid-murid yang mempelajari sejarah Buddhis akan menjawab: pada saat ini, yang ada hanyalah Dhamma dan Vinaya (Peraturan) yang dicetuskan oleh Sang Buddha ketika Beliau masih hidup. Dhamma dan Vinaya sebagai wakil Guru Agung pernyataan tersebut dibuat ketika Beliau akan meninggal dunia (parinibbana). Tetapi beberapa murid Dhamma lain mungkin berusaha membuat orang lain berpikir dengan menjawab: “Sang Buddha mencapai Dhamma yang Kekal (amatadhamma), maka Beliau tidak dapat mati”. Jadi sekarang inipun, Sang Buddha masih ada dan akan tetap ada selamanya. Di manakah Beliau bersemayam? Beliau ada di dalam Dhamma yang Kekal. Beberapa murid Dhamma lainnya mungkin akan mengacu pada bukti yang terdapat di kitab suci di sana tidak disebutkan apakah Sang Buddha dan para Arahat meninggal dan lenyap, atau meninggal untuk dilahirkan lagi. Hal ini disebabkan karena yang mati adalah khandha(indriya) ataukhandha tubuh (khandha-kaya). Sang Buddha dan para Arahat bukanlah khandha. Bila dikatakan bahwa mereka meninggal dan lenyap, atau meninggal dan apa pun sebutannya, semua itu tidaklah benar. Murid-murid Dhamma masih mempertahankan bahwa bila Sang Buddha dikatakan ada dan kekal, ini bukannya tanpa dasar. Jika orang ingin melihat Buddha pada saat ini atau kapanpun, dia harus bertekad untuk mempraktekkan Ajaran Buddha. Dia harus melatih pikiran untuk konsentrasi, melatih pemahaman Dhamma, dan kemudian dia akan dapat melihat Sang Buddha sendiri. Sang Buddha telah memastikan bahwa: “Siapa pun yang melihat Dhamma, berarti melihat Buddha”. Kesaksian ini menyatakan bahwa Sang Buddha ada dan dapat benar-benar dilihat. Karena itu, memutuskan Sang Buddha sebagai pelindung, seperti yang terungkap dalam syair: “Pada Sang Buddha-lah saya berlindung” bukan berarti berlindung dalam kekosongan karena Sang Buddha sudah tidak ada. Sang Buddha benar-benar merupakan perlindungan sejati.
Metode latihan yang digunakan untuk berlindung pada Sang Buddha adalah dengan merenungkan sifat-sifat luhur yang dimiliki Sang Buddha. Atau dapat merenungkan dengan cara: Sang Buddha benar-benar telah tercerahkan, benar-benar suci, dan memiliki welas asih sejati. Beliau akan muncul dalam sifat-sifat luhur tersebut. Maka kesepian dan rasa takut akan lenyap dari pikiran seseorang. Atau jika orang merasa cemas dan tertekan, suasana hati yang demikian akan segera lenyap. frustasi mental akan lenyap lalu akan tampak jelas cara terbaik untuk memecahkan masalah. Inilah kekuatan Buddha sejati. Yang penting adalah mempertahankan Sang Buddha dalam pikiran seseorang sebagai perlindungan sejati. Maka Sang Buddha kemudian akan muncul sebagai perlindungan bagi seseorang. Pikiran yang memiliki perlindungan itu akan bersifat hangat dan tidak kesepian kuat dan tidak lemah berani dan tidak takut murni, tidak menderita dan tidak keruh. Pikiran itu cenderung memunculkan pandangan benar. Bilamana orang telah melatih konsentrasi dan pemahaman Dhamma sehingga dia dapat melihat Dhamma, maka dia akan melihat Sang Buddha dengan jelas dan jernih. Sang Buddha dan Ajaran-Nya, nyata dan dapat menjadi perlindungan yang dapat diandalkan bagi siapa pun di dunia ini.
Sumber: http://artikelbuddhis.blogspot.co.id/